Pada Jumat 7 Desember 2022, SatuDunia menggelar FGD tentang Analisis Aktor dan Wacana Sunat Perempuan di Media Daring. FGD ini dihadiri perwakilan dari Komnas Perempuan, Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia, Konde.co. Penelitian ini disupport oleh Small Grant Initiative Programe Rutgers.
FGD ini dilatarbelakangi oleh penelitian SatuDunia soal sunat perempuan beberapa berita online. Kajian ini telah menentukan kata kunci dan membatasi media yang diteliti. Namun demikian Satudunia tidak membatasi waktu pengambilan berita tersebut.
Hasil riset SatuDunia menemukan bahwa secara umum, sunat perempuan tidak banyak diberitakan di media daring. Dalam kurun waktu 2006 hingga 2021, hanya ada 53 artikel artikel berita dari 19 media yang dianalisis.
Dari 30 aktor yang memproduksi wacana tentang sunat perempuan di media daring, mayoritas aktor menolak sunat perempuan (19 orang). Sementara sisanya 11 aktor setuju sunat perempuan.
Menurut Rena dari Kalyanamitra, selain isu soal agama, HAM dan kesehatan, ada juga isu bisnis dibalik sunat perempuan ini. Ada klinik yang memiliki cabang di beberapa kota di Jabodetabek dan mereka gencar mempromosikan sunat perempuan melalui website, Instagram karena mereka memiliki kepentingan bisnis, harga yang mahal dan mereka gencar dan dominan mewacana isu sunat perempuan, tambahnya.
Pendapat soal bisnis sunat perempuan juga dikuatkan oleh Mike Verawati dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), bahwa dulu pernah ada flyer soal himbauan sunat perempuan dari dokter.
Maria Ulfah dari Komnas Perempuan mengatakan soal sunat perempuan itu banyak media yang memframing soal sunat perempuan. Padahal ada musyawarah seluruh pesantren akhir tahun lalu dan diikuti ulama pesantren hampir seluruh daerah hadir, diantara keputusannya adalah sunat perempuan itu fenomenanya lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, bahkan lebih membahayakan bagi pemenuhan hasrat sex perempuan kecuali ada kepentingan lain dengan alasan medis bisa dilakukan. Dari Munas ulama merekomendasikan pemerintah untuk membuat kebijakan pelarangan terhadap sunat perempuan, tambah Maria Ulfa.
Sementara hasil penelitian yang disampaikan oleh Firdaus Cahyadi sebagai peneliti dari SatuDunia menyatakan Fatayat di media itu bahwa sunat perempuan bukan kewajiban agama. Dan beberapa kyai NU Husin itu bukan kewajiban agama dan kalau membahayakan itu harus dilarang, namun tidak banyak media meng-quote, hanya beberapa media saja. Jadi yang banyak di quote pendapat pak Makruf Amin dan beberapa orang NU yang menyetujui sunat perempuan dan muncul di media dan website resminya NU. Kalau Muhammadiyah itu di Aisyah, kalau media Muhammadiyah tidak muncul dan di media umum jarang sekali meng-quote pendapat Muhammadiyah terkait dengan sunat perempuan, saya kurang tahu apa karena pendapatnya yang tidak setuju atau tidak
Ditambahkan oleh Luviana dari Konde.id, justru preseden buruk ketika Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak mengikuti komisi Shadow Indonesia, ketika pertanyaan komisi Shadow mengenai sunat perempuan, kita agak sedih, karena tidak ada respon yang kuat, kalau wacana yang dibangun dan disebutkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, yang memiliki program P2GP, ada sebuah preseden, pemerintah tidak mampu menjelaskan sunat perempuan masih terjadi di Indonesia. Jawabannya sangat sumir, bahwa praktek sunat perempuan itu memuliakan perempuan dan anak, karena praktiknya tidak mungkin.
Sebagai penutup yang diringkas oleh Ari Syarifudin sebagai fasilitator yaitu, banyak aktor yang dipengaruhi agama, budaya sebagai faktor penguat dan pendorong membolehkan sunat perempuan. Media yang belum melek dalam memberitakan sunat perempuan karena pengaruh tradisi, budaya, agama dan owner media. Bagaimana wacana bisa berkembang itu wacana berkembang karena tidak pedulinya kita dalam mengcounter isu dan ide dengan lebih produktif. Pengalaman organisasi kampanye belum ada pengalaman yang baik, memiliki pengalaman yang banyak dan di organisasi juga belum keberlanjutan mengenai isu sunat perempuan.